Soal Bahasa Inggris

25 May

Penelitian Tindakan Kelas

23 May

PENINGKATKAN KEMAMPUAN SPEAKING SISWA

MELALUI MEDIA VIDEO PERCAKAPAN INTERAKTIF

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

Habib Adnan Prihatin

 

Abstrak: Proses pembelajaran Bahasa Inggris di SMPIT Nur Hidayah Surakarta kelas VII C menunjukkan sebanyak 30 % mengalami kesulitan terkait dengan kemampuan speaking. Nilai rerata siswa untuk kemampuan speaking adalah 61, 8 jauh di bawah KKM yakni 6,7. Peneliti mengindikasikan bahwa rendahnya kemampuan speaking ini akibat dari lemahnya minat dan motivasi siswa terhadap pembelajaran. Untuk itu perlu dicarikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Alternatif yang dipakai peneliti adalah penggunaan media video interaktif dalam pembelajaran. Setelah melakukan pre test penulis masuk ke siklus 1 yang yang berhasil meningkatkan kemampuan speaking sebesar 10 % dari rerata 61,8 menjadi 63,3. Pada siklus 2 terjadi peningkatan sebesar 18,5 % menjadi 68,4. Selain peningkatan kemampuan speaking, media video interaktif mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris.

 

Kata kunci: pembelajaran Bahasa Inggris, media video interaktif, kemampuan speaking, minat dan motivasi.

 

Abstract: The process of English learning in SMPIT Nur Hidayah Surakarta class VII C showed that 30% of students have difficulties with speaking ability. Average score of the students for speaking ability is 61,8 below the KKM (minimum passing grade) 6,7. The writer indicates that the poor speaking ability is a result of the weakness of student’s interest and motivation towards learning. We need to find solutions to solve these problems. The alternative method used by the writer is the use of interactive video media in teaching. After pre test the writer gets into the first cycle that is managed to improve speaking ability by 10% from the mean of 61,8 to 63,3. In the second cycle there was an increase of 18.5% to 68.4. In addition, the used of interactive video is able to increase students’ interest and motivation in English learning.

 

Keywords: English learning, interactive video media, speaking ability, interest and motivation    

 

PENDAHULUAN

Belajar suatu bahasa berarti belajar menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi, yaitu saling bertukar pesan (message) antara dua orang atau lebih, baik secara lisan (melalui listening dan speaking) maupun secara tertulis (melalui reading dan writing). Sedangkan mengajar suatu bahasa berarti memfasilitasi terjadinya pembelajaran bahasa tersebut, dengan cara menciptakan situasi yang memungkinkan siswa berlatih menggunakan bahasa itu. Teknik-teknik yang dapat digunakan antara lain tanya jawab, penggunaan media, simulasi, diskusi, dan pemecahan masalah (Joko Nurkamto: 1998).

Dari kedua definisi di atas bisa kita ketahui bahwa sesungguhnya tujuan pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan komunikatif Bahasa Inggris siswa, baik secara reseptif (listening dan reading) maupun produktif (speaking dan writing), baik secara lisan (listening dan speaking) maupun tertulis (reading dan writing). Dengan kata lain, pengembangan kemampuan komunikatif adalah kemampuan menguasai kaidah bahasa target agar dapat memahami dan/atau menyusun kalimat bahasa itu secara benar serta kemampuan menggunakan kalimat itu untuk berkomunikasi secara tepat sesuai dengan konteks. Menurut Tubbs (2001): “Interaction simply means communication. This includes talking and listening, head nods, gestures, glances, paths on the back, smiles, frowns, and many other behaviors to which people assign meaning”. Secara sederhana interaksi berarti berkomunikasi menggunakan bahasa. Sebagaimana yang ia kemukakan bahwa berintreraksi pada dasarnya berarti berkomunikasi. Hal ini meliputi berbicara, mendengar, menganggukkan kepala, gerak tubuh, gerakan bahu, senyuman, dan beberapa kebiasaan lain di mana seseorang bisa menangkap makna. Dalam pengertian lain Finicchiaro, sebagai mana yang dikutip kembali oleh Prof. Dr. Arif Rahman (1998), secara singkat langsung mendefinisikan bahasa sebagai sistem yang arbiter, symbol vocal yang memberi keluasaan seseorang dalam budayanya sendiri berkomunikasi dan berinteraksi.“Language is a system of arbitrary, vocal symbol which permits all people in given culture to communicate and interact” (Finicchiaro: 1964).

            Dari beberapa definisi di atas bisa disimpulkan bahwa bahasa adalah sistem yang arbiter dan disepakati di satu komunitas tertentu dan digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Implikasinya dalam pembelajaran bahasa adalah belajar bahasa berarti belajar mempraktekkannya sebagai sarana komuniksai (speaking), bukan belajar memahami konsepnya. Speaking menjadi salah satu unsur penting yang harus dikuasai dalam belajar Bahasa Inggris. Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti selaku guru Bahasa Inggris di SMPIT Nur Hidayah Surakarta menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mengembangkan kompetensi berbicara (speaking). Penyajian materi pelajaran selama ini lebih banyak terfokus pada pendekatan struktur (structural approach) yakni berkutat pada teori dan tata bahasa. Akibatnya banyak siswa yang bagus dalam pemahaman teori sehingga mendapatkan nilai yang baik dalam evaluasi tertulis tetapi tidak memiliki kecakapan komunikasi (speaking) yang baik. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris siswa masih terlihat kurang aktif dan tidak responsif, interaksi antar siswa juga masih kurang. Nampak pula adanya siswa yang bersifat tertutup dan malu bertanya kepada guru mengenai materi pelajaran yang belum dimengerti. Hal itu mengakibatkan siswa merasa kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru. Kesulitan dalam memahami materi menyebabkan rendahnya kompetensi berbicara siswa di SMPIT Nur Hidayah Surakarta.

Disamping itu juga terdapat faktor lain yakni kurangnya minat dan motivasi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan metode yang digunakan kurang melibatkan aktivitas siswa secara langsung. Pembelajaran Bahasa Inggris yang dilaksanakan masih didominasi oleh guru sehingga kurang menghasilkan aktivitas siswa yang baik. Kebanyakan anak didik mengalami kebosanan dalam belajar Bahasa Inggris sebagian besar disebabkan oleh faktor didaktik, termasuk pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Dengan kurangnya pemahaman dan aktivitas belajar siswa tersebut berdampak terhadap prestasi belajar yang secara umum kurang memuaskan, hal ini dapat dilihat dari nilai ulangan sebelumnya dari 30 siswa hanya 21 siswa yang tuntas, sisanya 9 siswa mengikuti remidi karena skor yang diperoleh kurang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan yakni lebih besar atau sama dengan 67.

Dari hasil sharing ideas sesama guru Bahasa Inggris diperoleh satu kesimpulan bahwa perlu dilakukan pemilihan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi berbicara (speaking) siswa. Model yang akan diterapkan adalah pembelajaran menggunakan media video interaktif. Menurut Sajidan (2010) metode ini selaras dengan situasi di era modern di mana dikembangkan pembelajaran berbasis ICT (information communication and technology). Pemilihan model ini akan menjadi model (contoh) dan membantu siswa untuk lebih bersemangat dalam berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, praktik dan saling berbagi informasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan speaking siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan penelitian yang berjudul ”Peningkatan Kemampuan Speaking Siswa Melalui Video Pembelajaran Interaktif dalam Pembelajaran Bahasa Inggris”.

Rumusan masalah sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Mengetahui sejauh mana keefektifan pembelajaran menggunakan media video interaktif dalam meningkatkan kemampuan speaking pada pelajaran Bahasa Inggris siswa kelas VII C SMPIT Nur Hidayah Surakarta Tahun Pelajaran 2010/ 2011. 2) Mengetahui sejauh mana pembelajaran dengan media video interaktif dapat meningkatkan motivasi siswa kelas VII C SMPIT Nur Hidayah Surakarta Tahun Pelajaran 2010/ 2011 dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Inggris.

 

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Alasan penggunaannya adalah (1) data berlatar ilmiah artinya sesuai kenyataan selama pembelajaran Bahasa Inggris menggunakan media video interaktif yang berlangsung di kelas VIIC SMPIT Nur Hidayah Surakarta, (2)  peneliti bertindak sebagai instrumen utama, yaitu pelaksana tindakan, pengumpul data, dan menganalisis data, (3) lebih mementingkan segi proses dari pada hasil, artinya kejadian-kejadian yang berada di lokasi penelitian selama waktu penelitian menjadi fakta yang diamati. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau disebut juga dengan Class Action Research. Penelitian ini dilakukan di dalam kelas dan bertujuan untuk memperbaiki hasil belajar dengan melakukan suatu tindakan tertentu.

Penelitian ini dilakukan di SMPIT Nur Hidayah Surakarta, sebuah sekolah Islam yang cukup di kenal di kota Surakarta. Yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas VII C SMPIT Nur Hidayah Surakarta tahun pelajaran 2010/ 2011 yang berjumlah 30 siswa. Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data utama dan sumber data pendukung. Sumber data utama diperoleh langsung dari orang-orang yang bersangkutan atau subjek penelitian. Sumber data pendukung diperoleh melalui perantara atau guru mata pelajaran Bahasa Inggris.

 Data yang digali dari sumber data utama ini adalah aktivitas dan prestasi belajar siswa. Data prestasi belajar diperoleh dari hasil tes yang dilakukan disetiap akhir siklus sedangkan data aktivitas siswa diperoleh melalui observasi yang dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung. Sumber data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan guru (learning log), catatan lapangan  (field note) dan dokumentasi. Catatan lapangan digunakan untuk merekam kegiatan pembelajaran serta aktivitas guru dan siswa dikelas. Sedangkan data dokumentasi diperoleh dari foto-foto selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan nilai siswa sebelum penelitian dilakukan.

            Cara melakukan analisis data adalah dengan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dimunculkan dalam bentuk deskripsi angka dan rata-rata pencapaian hasil tes speaking. Sedangkan data kualitatif akan dimunculkan dalam catatan guru (learning log) dan catatan harian observasi.

 

HASIL PENELITIAN

            Peneliti memperoleh gambaran awal tentang kondisi siswa. Siswa kelas VII C berasal dari latar belakang Sekolah Dasar (SD) yang berbeda-beda sehingga memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang tidak sama. Namun ada kesamaan di antara mereka yakni kemampuan Speaking yang masih rendah. Untuk itu peneliti membagi setiap siklusnya menjadi beberapa tahapan yakni: tahap perencanaan, tindakan, observasi, dokumentasi, dan refleksi.

 

 

Siklus I

  • Perencanaan

            Dalam perencanaan ini, peneliti menyusun sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk aspek speaking yang mencakup standar kompetensi, indikator, langkah-langkah pembelajaran dan rubrik untuk penilaian. Standar kompetensinya adalah Memahami makna dalam percakapan transaksional dan interpersonal sangat sederhana untuk berinteraksi dengan lingkungan terdekat. Kompetensi Dasarnya melakukan interaksi dengan lingkungan terdekat yang melibatkan tindak tutur: orang menyapa yang belum dikenal, memperkenalkan diri sendiri/ orang lain, memerintah atau melarang. Sedangkan indikatornya terdiri dari 1) Menggunakan ungkapan menyapa orang yang belum/ sudah dikenal, 2) Menggunakan ungkapan memperkenalkan diri sendiri/ orang lain 3) Menggunakan ungkapan memerintah/ melarang.

            Tahap berikutnya adalah penerapan simulasi dialog dengan 1) menayangkan video interaktif yang berisi dialog tentang menyapa orang yang belum dikenal, 2) mengulang video dan memberikan contoh dialog dan siswa menirukan, 3) membimbing siswa untuk menirukan ungkapan-ungkapan terkait, 4) memfasilitasi siswa untuk menjawab pertanyaan interaktif dari tokoh yang terdapat dalam video, 5) memfasilitasi siswa untuk mempraktikan secara berpasangan.

  • Tindakan

            Tindakan adalah implementasi dari perencanaan. Pada tahap ini siswa berlatih untuk melakukan dialog tentang topik terkait bersama dengan pasangannya. Siswa diberikan transkrip dialog yang ada dan mempraktikkannya di depan kelas. Pada pertemuan berikutnya, masih dalam tahap tindakan, siswa mempratikkan dialog tanpa membawa transkrip. Dengan tema percakapan yang sama siswa terlihat lebih menikmati percakapan mereka karena sudah berlatih dan mendapat contoh dari tayangan video interaktif. Siswa juga diharuskan melakukan improvisasi atas percakapan yang telah mereka buat. Akhir dari siklus 1 ini adalah pelaksanaan post test. Para siswa secara berpasangan praktek percakapan bersama pasangannya di depan kelas.

  • Observasi

Kegiatan di siklus 1 berjalan baik dan diketahui bahwa siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Pada saat media video interaktif ditayangkan para siswa terlihat sangat tertarik untuk menirukan dan mengikuti percakapan dalam video dengan baik. Mereka juga ikut saling bertanya dan menjawab bergantian dengan narator yang ada dalam video. Di bagian akhir tayangan mereka semakin senang ketika harus mengisi percakapan dengan suara mereka sendiri.

            Siswa terlihat asyik belajar dengan pasangannya dan apabila mendapati kesulitan mereka bertanya dengan gurunya. Rerata hasil pretest adalah 61,8 sedangkan hasil post test di akhir siklus 1 adalah 63,3.

  • Dokumentasi

 

Siswa sedang melakukan praktik percakapan secara berpasangan

 

 

Dua orang siswa sedang berdiskusi tentang materi percakapkan yang akan ditampilkan

 

 

 

Transkrip Percakapan terkait video yang telah diputar yang ditayangkan lewat LCD

 

 

Semua siswa bersama-sama membaca transkrip dan difasilitasi oleh guru

 

 

 

 

  • Refleksi

Berdasarkan skor tes pada siklus I menunjukkan bahwa rata-rata skor tes siswa siklus I sebesar 63,3 dan ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 80%. Hal ini berarti terjadi peningkatan ketuntasan belajar sebesar 10 %. Selain itu ketuntasan belajar klasikal sudah tercapai karena siswa yang sudah tuntas belajar mencapai lebih dari 75 % dari jumlah siswa. Siswa yang mendapatkan nilai ³ 67 dikategorikan tuntas belajar. Sebanyak 24 siswa tuntas belajar, sedangkan 6 siswa lainnya belum mencapai ketuntasan belajar.

Tabel Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Kelas VII-C pada Siklus I

Ketuntasan belajar

∑ siswa

∑ seluruh siswa

Persentase

Tuntas belajar

24

30

80 %

Tidak tuntas belajar

6

30

20 %

 

            Satu hal yang harus dicatat dalam refleksi ini adalah tingginya semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini dikarenakan tayangan video interaktif yang mampu membuat siswa lebih tertarik karena adanya model (contoh) percakapan yang diperankan di dalam tayangan. Kelemahan yang mungkin harus diperbaiki adalah topik yang masih monoton sehingga siswa tidak bisa berimprovisasi secara penuh. Sebagai saarannya perlu diberikan kelonggaran pada siswa untuk menentukan topik percakapan mereka sendiri-sendiri.

 

Siklus II

  • Revisi Perencanaan

Dari refleksi siklus 1 terkait kelebihan, kekurangan dan saran yang ada maka peneliti memutuskan untuk memberikan keleluasaan kepada siswa dalam menentukan topik percakapan sesuai dengan pilihan mereka masing-masing.

  • Tindakan

Pada tahap ke dua  ini siswa berlatih untuk melakukan dialog tentang topik pilihannya masing-masing dan bersama dengan pasangannya. Siswa membuat dan mengmbangkan sendiri transkrip dialog yang ada dan mempraktikkannya di depan kelas. Pada pertemuan berikutnya, masih dalam tahap tindakan, siswa mempraktikkan dialog tanpa membawa transkrip. Dengan tema percakapan yang mereka buat sendiri siswa terlihat lebih menguasai teks dan materi percakapan Siswa juga diperbolehkan melakukan improvisasi atas percakapan yang telah mereka buat di luar transkrip yang telah mereka buat. Akhir dari siklus 2 ini adalah pelaksanaan post test. Sama dengan siklus sebelumnya para siswa secara berpasangan praktek percakapan bersama pasangannya di depan kelas.

  • Observasi

Kegiatan di siklus 2 terasa lebih alami dibandingkan siklus 1. Guru juga menayangkan beberapa contoh video interaktif yang lain sehingga membantu para siswa dalam menyusun transkrip, berlatih berpasangan dan menampilkannya di depan kelas. Dalam tahap ini semakin banyak interaksi yang terjadi antara siswa dan guru baik dalam bentuk bertanya ataupun meminta arahan terkait percakapan yang diperagakan. Siswa lebih asyik belajar dengan pasangannya dan apabila mendapati kesulitan mereka bertanya dengan gurunya. Kemampuan masing-masing siswa dalam melakukan percakapan berpasangan juga lebih meningkat dibandingkan dengan siklus 1. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan hasil post test yang diadakan dari rerata hasil pretest adalah 61,8 sedangkan hasil post test di akhir siklus 2 adalah 68,4.

  • Dokumentasi

 

Suasana kelas ketika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilaksanakan

 

 

Tampak dua orang siswa sedang melakukan post test di siklus 2

 

 

 

 

 

  • Refleksi

Berdasarkan skor tes pada siklus 2 menunjukkan bahwa rata-rata skor tes siswa siklus 2 sebesar 68,4 dan ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 98,5%. Hal ini berarti terjadi peningkatan ketuntasan belajar sebesar 18,5 % dari siklus 1. Selain itu ketuntasan belajar klasikal sudah tercapai karena siswa yang sudah tuntas belajar mencapai lebih dari 75 % dari jumlah siswa. Siswa yang mendapatkan nilai ³ 67 dikategorikan tuntas belajar. Sebanyak 28 siswa tuntas belajar, sedangkan 2 siswa lainnya belum mencapai ketuntasan belajar.

Tabel Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Kelas VII-C pada Siklus II

Ketuntasan belajar

∑ siswa

∑ seluruh siswa

Persentase

Tuntas belajar

28

30

98.5 %

Tidak tuntas belajar

2

30

2,5 %

 

            Satu hal yang menarik dari tindakan siklus 2 ini adalah meningkatnya kemampuan siswa untuk menuangkan idenya dalam transkrip dan mengungkapkannya dalam percakapan. Dalam lembar refleksi mereka juga merasa lebih senang melakukan percakapan yang didahului dengan penayangan video interaktif sebagai model. Sebagai masukan pada penelitian berikutnya adalah pengembangan media video interaktif ini sebagai sarana pembelajaran untuk kemampuan-kemampuan yang lain, dengan tema yang lebih beragam.

 

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

  • Peningkatan Kemampuan Speaking Siswa

Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif diperoleh bahwa pada siklus I persentase keberhasilan tindakan sebesar 80 %. Sedangkan pada siklus II keberhasilan tindakan sebesar 98,5%. Persentase keberhasilan tindakan mengalami peningkatan sebesar 18,5 %. erdasarkan hasil temuan dapat disimpulkan bahwa penggunaan media video interaktif terbukti mampu meningkatkan kemampuan speaking siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris.

 

 

  • Peningkatan Minat dan Motivasi Siswa Mengikuti Pelajaran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan media video interaktif dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti pelajaran. Menurut para siswa Bahasa Inggris memiliki banyak metode pembelajaran yang membuat mereka bisa menikmati pembelajaran dengan baik. Pelajaran Bahasa Inggris menjadi tidak membosankan karena tidak hanya berjalan klasikal dan teacher-centered, tatapi banyak melibatkan siswa untuk aktif dan guru yang manjadi fasilitator. Salah satu dari metode itu adalah penggunaan media video interaktif dalam pembelajaran Bahasa Inggris.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan media video interaktif berhasil dalam 2 aspek yakni 1) media video interaktif berhasil meningkatkan kemampuan speaking siswa, yang meliputi peningkatan pengejaan dan kealamiahan percakapan. 2) media video interaktif juga mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran.

Saran

Sehubungan dengan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1)      Bagi guru Bahasa Inggris yang lain penggunaan media video interaktif ini bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan minat serta motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran.

2)      Dalam praktiknya metode ini bisa dikembangkan dengan cara dan strategi lain serta untuk kemampuan yang lain, semisal listening, reading dan bahwa writing.

3)      Pembelajaran dengan metode ini harus benar-benar dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, karena keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh persiapannya.

 

 

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsismi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurkamto, Joko. 2008. Metode Pengajaran Bahasa Inggris.–

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Rahman, Arif. 2008. Teaching English to Children.

Sajidan. 2010. ICT based learning.–

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

 

 

 

 

 

INOVASI KURIKULUM PEMBELAJARAN BERBASIS ICT (INFORMATION COMMUNICATION TECHNOLOGY) DI SEKOLAH

20 Dec
  1. Pendahuluan

Perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology) yang sangat pesat di era globalisasi ini memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan. Ciri kehidupan global, yang hampir-hampir menghilangkan sekat geografis ini, ditandai dengan semakin ketatnya persaingan antar wilayah (negara) yang sarat dengan perang penguasaan teknologi tinggi. Amien Rais (2008: 14) menegaskan bahwa globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia yang mempertemukan berbagai tempat sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian yang terjadi di suatu daerah dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang berlangsung di tempat-tempat yang sangat jauh dan demikian pula sebaliknya.

Menurut Syaefudin Sa’ud (2009: 16) kemajuan ini mengakibatkan terjadinya perubahan sosial masyarakat dari yang semula tradisional ke masyarakat yang maju (modern). Di antara tanda-tanda masyarakat modern ialah kondisi di bidang ekonomi yang makmur,  politik lebih stabil, dan terpenuhinya pelayanan pendidikan serta kesehatan. Manusia modern memiliki beberapa karakteristik di antaranya selalu bersikap terbuka, siap menghadapi perubahan sosial, berpandangan luas, mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, berorientasi pada masa depan, menghargai keterampilan teknik, serta berwawasan pendidikan.

Pendidikan, mengacu pada konsep yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) bab I pasal I, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari definisi pendidikan di atas bisa simpulkan bahwa pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Jika proses pendidikan dilaksanakan dengan fungsi dan tujuan seperti yang dikemukakan di atas, maka dirasa perlu dan harus dipertimbangkan proses pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan dengan menyiapkan kurikulum yang baik. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai akan dapat terlaksana jika alat, isi kurikulum yang dijadikan dasar acuan relevan. Dengan kata lain, ini bisa diartikan bahwa kurikulum dapat membawa kita ke arah tercapainya tujuan pendidikan.

Kurikulum harus selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Rusman (2009: 1) berpendapat bahwa perkembangan yang terkait ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat, berbangsa dan bernegara, maupun isu-isu di dalam dan di luar negeri merupakan tantangan yang harus dipertimbangkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun daerah harus mampu dengan cepat menjawab tantangan-tantangan tersebut untuk direalisasikan dalam program pendidikan di wilayahnya. Senada dengan pendapat Rusman, Sumantri (1994: 25) menambahkan bahwa pembangunan pada masa kini dan masa yang akan datang menuntut perubahan dan inovasi kurikulum. Sektor pendidikan harus dapat mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi pada masa mendatang agar hasil dan produk pendidikan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan meningkatkan laju pembangunan.

Pendidikan sebagai pondasi pembangunan suatu bangsa memerlukan pembahuruan-pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman. Keberhasilan dalam pendidikan selalu berhubungan erat dengan kemajuan suatu bangsa yang berdampak meningkatnya kesejahteraan kehidupan masyarakat. Pada era teknologi tinggi (high technology) perkembangan dan transformasi ilmu berjalan begitu cepat. Akibatnya, sistem pendidikan konvensional tidak akan mampu lagi mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Pendekatan-pendekatan modern dalam proses pengajaran tidak akan banyak membantu untuk mengejar perkembangan ilmu dan teknologi jika sistem pendidikan masih dilakukan secara konvensional.

Teknologi merupakan segala suatu hasil budaya (daya kreasi dan inovasi) manusia yang dapat mempermudah proses kehidupan manusia. Informasi secara mendasar berarti data yang bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya sedangkan data ialah Suatu bentuk fakta atau pengamatan yang mewakili / menggambarkan keadaan obyek. Obyek dapat berupa tempat, orang, benda, dll. Data dinyatakan dengan nilai (angka, deretan karakter, atau simbol) tetapi yang universal adalah yang berupa angka dan data dapat juga berupa hal-hal yang sulit terukur; misal sifat, kondisi, situasi, ide, dll. Informasi merupakan data yang telah diorganisasikan kedalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Jadi, yang dimaksud dengan Teknologi Informasi (TI) ialah segala sesuatu budaya (daya kreasi dan inovasi) manusia yang membantu menghasilkan, memanipulasi, menyimpan, pengelolaan dan menyampaikan infomasi.

Pada masa lalu Teknologi Informasi yang digunakan berupa goresan/gambar, arsip, telegraf, dan lain – lain. Pada masa kini Teknologi Informasi yang digunakan antara lain berupa komputer, faks, telekonferensi. Tujuan Teknologi Informasi adalah:Memecahkan masalah, membuka kreativitas, efektivitas dan efisiensi Fungsi Teknologi Informasi 1.Menangkap (Capture), 2.Memproses(Processing), 3.Menghasilkan (Generating), 4.Menyimpan (Storage), 5.Mencari Kembali (Retrieval), 6.MelakukanTransmisi(Transmission). Keuntungan Teknologi Informasi : speed,Consistency, Precision, Reliability Teknologi Informasi bermanfaat dalam Berbagai Bidang antara lain; Akuntansi, Finance, Marketing, Produksi atau Manajemen Produksi, Manajemen Sumber Daya Manusia.

Perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat pesat dan berpengaruh sangat signifikan terhadap pribadi maupun komunitas, segala aktivitas, kehidupan, cara kerja, metode belajar, gaya hidup maupun cara berpikir. Oleh karena itu, pemanfaatan TIK harus diperkenalkan kepada siswa agar mereka mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk bisa menerapkan dan menggunakannya dalam kegiatan belajar, bekerja serta berbagai aspek kehidupan sehari-hari, bahkan bisa juga dikembangkan menjadi kegiatan wira usaha. Siswa yang telah mengikuti dan memahami serta mempraktekkan TIK akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai TIK dan menggunakannya secara efektif. Selain dampak positif, siswa mampu memahami dampak negatif, dan keterbatasan TIK, serta mampu memanfaatkan TIK untuk mendukung proses pembelajaran dan memanfatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dewasa ini semakin banyak situs pertemanan seperti facebook, twitter, friendster, dan myspace yang membuat komunikasi dan saling bertukar informasi semakin mudah. Belum lagi semakin menjamurnya tempat membuat blog gratis di internet seperti wordpress, blogspot, livejurnal, dan multiply. Hal ini membuat kita dituntut bukan hanya mampu mencari dan memanfaatkan informasi saja, tetapi juga mampu menciptakan informasi di internet melalui blog yang kita kelola dan terupdate dengan baik. Di sanalah muncul kreativitas menulis yang membuat orang lain mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Namun sayangnya, kebiasaan menulis dan membaca belum menjadi budaya masyarakat Indonesia, termasuk guru dan siswa di sekolah. Para guru TIK dituntut agar para peserta didiknya mampu memanfaatkan TIK untuk mengembangkan kreativitas menulis.

Rumusan Masalah

Dari deskripsi di atas peneliti ingin mengkaji dan melakukan analisis lebih mendalam terkait inovasi kurikulum pembelajaran berbasis ICT dengan rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apakah yang dimaksud dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi itu?
  2. Bagaimanakah aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi di sekolah?
  3. Bagaimanakah peran guru dalam aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi di sekolah


1. Pengertian  Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information and Communication Technologies (ICT), adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya.

Teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media. Istilah TIK muncul setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunak) dengan teknologi komunikasi pada pertengahan abad ke-20. Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang pesat melampaui bidang teknologi lainnya. Hingga awal abad ke-21 TIK masih terus mengalami berbagai perubahan dan belum terlihat titik jenuhnya.

Tidak bisa dipungkiri komputer digunakan di berbagai bidang pekerjaan, termasuk dalam dunia pendidikan. Pengenalan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), diharapkan dapat membuat perubahan pesat dalam kehidupan yang mengalami penambahan dan perubahan dalam penggunaan beragam produk TIK. Kita bisa mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara efisien dan efektif. TIK akan memudahkan kita, mendapatkan ide dengan cepat dan bertukar pengalaman dari berbagai kalangan. Dengan demikian, diharapkan dapat mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga kita dapat memutuskan dan mempertimbangkan sendiri kapan dan dimana penggunaan TIK secara tepat dan optimal, termasuk implikasinya saat ini dan di masa yang akan datang.

Teknologi Informasi dan Komunikasi mencakup dua aspek, yaitu Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi. Teknologi Informasi, meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan Teknologi Komunikasi merupakan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi adalah suatu padanan yang tidak terpisahkan  yang mengandung pengertian luas tentang segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan informasi antar media.

Secara khusus, tujuan mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah:

  1. Menyadarkan kita akan potensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berubah sehingga termotivasi untuk mengevaluasi dan mempelajari teknologi ini sebagai dasar untuk belajar sepanjang hayat.
  2. Memotivasi kemampuan kita agar bisa beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan TIK, sehingga bisa melaksanakan dan menjalani aktifitas kehidupan sehari hari secara mandiri dan lebih percaya diri.
  3. Mengembangkan kompetensi kita dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendukung kegiatan belajar, bekerja, dan berbagai aktifitas dalam kehidupan sehari hari.
  4. Mengembangkan kemampuan belajar berbasis TIK, sehingga proses pembelajaran dapat lebih optimal, menarik, dan mendorong kita lebih terampil dalam berkomunikasi, terampil mengorganisasi informasi, dan terbiasa bekerjasama.
  5. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri, berinisiatif, inovatif, kreatif, dan bertanggung jawab dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pembelajaran, bekerja, dan pemecahan masalah sehari hari.

Saat ini Depdiknas mempunyai program pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara besar besaran. Ada tiga posisi penting Depdiknas dalam program pengembangan TIK, yaitu:

  1. Bidang kejuruan, TIK menjadi salah satu jurusan di SMK. Pengembangan TIK secara teknis baik hardware dan software masuk dalam kurikum pendidikan. Dibentuknya ICT center di seluruh Indonesia. Untuk menghubungkan sekolah sekolah di sekitar ICT center dibangun WAN (Wireless Area Network) Kota.
  2. Pustekkom, sebagai salah satu ujung tombak dalam pengembangan TV pendidikan interaktif, E learning dan E SMA. Program ini bertujuan untuk mempersempit jurang perbedaan kualitas pendidikan antara kota besar dengan daerah.
  3. Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional), bertujuan untuk mengintegrasikan kedua program di atas agar terbentuk sebuah jaringan yang menghubungkan semua sekolah di Indonesia.

Melalui TIK, sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya sudah tidak lagi mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran antar sesama kita. Perkembangan TIK memicu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik. Alangkah wajar bila sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-learning, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan lainnya yang berbasis TIK.

Dari semua e itu ada yang perlu endapatkan perhatian serius yaitu e-education, dimana kita mempunyai kewajiban untuk mengembangkan TIK dalam proses pembelajaran yang tidak hanya mengajak peserta didik untuk mencari informasi, tetapi juga menciptakan informasi. Mampu saling berkomunikasi dengan menggunakan berbagai aplikasi TIK yang membuat dirinya mampu saling berbagi tentang apa yang disukainya dan apa yang dikuasainya. Membuat mereka mampu memanfaatkan TIK dengan baik.

2. Aplikasi Pembelajaran berbasis ICT di Sekolah

Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty First Century” merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses pembelajaran, yaitu:  Learning to know (belajar untuk menguasai. pengetahuan) Learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan ), Learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan Learning to live together (belajar untuk hidup bermasyarakat). Untuk dapat mewujudkan empat pilar pendidikan di era globalisasi informasi sekarang ini, para guru sebagai agen pembelajaran perlu menguasai dan menerapkan TIK dalam pembelajaran di sekolah.

Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan  TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke, di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan  dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Di sinilah peran guru untuk membuat kurikulumnya sendiri yang dapat membuat peserta didik beajar secara aktif.

Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin popuper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media TIK khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.  Sejalan dengan perkembangan TIK itu sendiri pengertian e-learning menjadi lebih luas yaitu pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, video tape, transmisi satellite atau komputer (Soekartawi, Haryono dan Librero, 2002).

Saat ini e-learning telah berkembang dalam  berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruc-tion), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning System), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dan sebagainya.

Selain e-learning, potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah dapat juga memanfaatkan e-laboratory dan e-library.  Adanya laboratorium virtual (virtual lab) memungkinkan guru dan siswa dapat belajar menggunakan alat-alat laboratorium atau praktikum tidak di laboratorium secara fisik, tetapi dengan menggunakan media komputer. Perpustakaan elektronik (e-library) sekarang ini sudah menjangkau berbagai sumber buku yang tak terbatas untuk bisa diakses tanpa harus membeli buku/sumber belajar tersebut.

Sebenarnya, ada empat level pemanfaatan TIK untuk pendidikan menurut UNESCO, yaitu: Level 1: Emerging – baru menyadari pentingnya TIK untuk pendidikan; Level 2: Applying – baru mempelajari TIK (learning tom use ICT); Level 3: Integrating – belajar melalui dan atau meng-gunakan TIK (using ICT to learn); Level 4: Transforming – dimana TIK telah menjadi katalis efektifitas dan efisiensi pembelajaran serta reformasi pendidikan secara umum.

Salah satu bentuk produk TIK yang sedang “ngetrend” saat ini adalah internet  yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek dan dimensi. Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada gilirannya akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya. Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaan internet pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. TIK telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun di luar kelas.

2. Peran guru dalam aplikasi TIK di sekolah

Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru.

Di samping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya. Oleh karenanya, guru dituntut untuk membuat buku.

Sayangnya saat ini, masih banyak guru kita yang belum melek TIK atau ICT (Information and Communcation Technology). Mengacu pada hal tersebut di atas, sudah saatnya “GERAKAN MELEK ICT (ICT LITERACY MOVEMENT)” menjadi gerakan nasional yang sama “urgent”nya atau lebih “urgent” dibandingkan dengan GERAKAN KELUARGA BERENCANA di jaman Orde Baru dahulu, jaman Presiden Soeharto. Mudah-mudahan, dengan dibentuknya gerakkan melek ICT di sekolah, para guru dapat memaksimalkan potensi TIK dalam proses pembelajarannya. Pemerintah maupun swasta perlu bekerja sama dalam membantu guru melakukan pelatihan-pelatihan di bidang ICT, seperti penguasaan power point, ngeblog di internet, bikin software untuk bahan ajarnya, seperti menguasai program Macromedia Flash, Camtasia, dan lain sebagainya.

Aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah yang dikembangkan oleh guru dapat memberikan beberapa manfaat antara lain.

a. Pembelajaran menjadi lebih interaktif, simulatif, dan menarik

b. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / kompleks

c. Mempercepat proses yang lama

d. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi

e. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau di luar jangkauan

Kurikulum TIK yang sekarang ini telah dibuat oleh pusat kurikulum yang bekerjsama dengan Badan standar Nasional (BSNP) adalah kurikulum standar yang terdiri dari SK (Standar Kompetensi), dan KD (Kompetensi Dasar) yang masih harus dikembangkan oleh guru itu sendiri dalam mengaplikasikannya sesuai dengan kondisi sekolah. Guru TIK dituntut untuk membuat kurikulumnya sendiri sesuai dengan SK dan KD dengan berbagai ragam pengayaan yang dimiliki oleh guru di daerahnya masing-masing. Sayangnya, banyak guru yang belum siap membuat kurikulumnya sendiri dan masih banyak guru yang copy and paste dalam membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal dlam KTSP guru diberikan kebebasan untuk berkreativitas dalam memberikan materi pengayaan kepada para peserta didiknya

Penutup

Aplikasi dan potensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa pergeseran pandangan tentang pembelajaran dan peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Penerapan TIK dalam pembelajaran memungkinkan kegiatan belajar mengajar lebih interaktif, simulatif dan lebih menarik. Oleh karena itu guru di era globalisasi informasi ini dituntut untuk mampu menguasai dan mengalipkasikan TIK dalam pembelajaran.  Mengajak peserta didik untuk mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mampu meciptakan informasi dengan membangun connecting and sharing.

Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang beriorientasi pada penerapan TIK akan mempercepat peningkatan kualitas pendidikan yang pada akhirnya dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain di dunia. Bagaimanapun banyaknya dampak positif dalam penerapan TIK dalam pembelajaran di sekolah, kita mempunyai tanggungjawab bersama dalam meminimalisasi dampak negatif yang muncul baik secara individual, maupun sosial. Siapa yang menguasai TIK, pasti dia akan menguasai dunia. Kita pun merasakan bahwa masih banyak yang harus disempurnakan untuk memperbaharui kurikulum TIK yang ada di sekolah-sekolah kita. Perlu kerjasama (kolaborasi) antara guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi untuk memperbaiki kualitas kurikulum TIK di Indonesia. Jangan sampai terjadi tumpang tindih materi dalam mengaplikasikan TIK. Semoga struktur dan kultur berjalan seimbang di sekolah-sekolah kita, sehingga aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah berjalan dengan baik dan sesuai dengan kurikulum yang diharapkan oleh pemerintah.

Daftar Pustaka Continue reading

Bahasa Pijin

16 Dec

Continue reading

Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah

16 Dec

Continue reading

Gaya Bahasa Remaja

14 Jul

Bahasa, sebagai salah satu produk dari budaya, mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa menyesuaikan dengan kondisi zamannya. Salah satu perkembangan yang terjadi dan bisa kita amati adalah model atau gaya berbahasa para remaja. Penggunaan Bahasa Indonesia di kalangan remaja (yang lebih dikenal dengan istilah ABG alias Anak Baru Gede) saat ini sangat berbeda dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka, para remaja, cenderung mengabaikan aspek-aspek struktural yang baku dan rumit serta lebih mengedepankan subtansi bahasa yang lebih komunikatif. Realitasnya bahasa ABG sekarang cenderung memilih ragam yang lebih santai dan tidak formal (tidak baku).
Ketidakbakuan tersebut setidaknya bisa kita lihat dari 2 hal yakni pertama: pemilihan kosa kata ketika berbicara. Ketidakbakuan kosakata bisa kita lihat dari diksi (pilihan kata) yang tidak baku seperti pada kalimat: “Mau bilang apa?”. Kata ‘bilang’ digunakan untuk mengganti kata ‘berkata’. Contoh lain seperti pada kalimat: “Doski tidak datang”. Kata ‘doski’ adalah kata ganti tidak baku untuk orang ke tiga ‘dia’.
Ketidakbakuan yang ke dua terdapat pada struktur kalimat yang bisa dilihat dari penyederhanaan afiksasi (kata imbuhan). Untuk membentuk kata kerja transitif (memerlukan obyek) para remaja cenderung menggunakan proses nasalisasi. Mereka menghindari pemakaian awalan ‘men – kan’ atau ‘men – i’ yang rumit. Kesulitan ini diatasi dengan proses ‘n – in’: tiru  niruin, ambil  ngambilin, cari  nyariin, tanya  nanyain, les  ngelesin, selidik  nyelidikin.
Begitu pula dengan bentuk pasif : ‘di + kata dasar + in’. Bentuk pasif ini dibentuk dengan menambahkan awalan ‘di- dan akhiran ‘in pada kata dasar: dua  diduain, tinggal  ditinggalin, tunggu  ditungguin, kumpul  dikumpulin, batal  dibatalin. Sedangkan bentuk pasif ‘ter’ dalam bahasa Indonesia baku diubah menjadi ‘ke’. Sebagai contoh: tangkap  ketangkap, peleset  kepeleset, timpa  ketimpa, gaet  kegaet
Selain afiksasi terdapat juga penghilangan huruf (fonem) awal contoh: habis  abis, memang  emang, sudah  udah, saja  aja, sama  ama. Ataupun juga penghilangan huruf ‘h’ pada awal suku kata bentuk baku. Contoh: tahu  tau, habis  abis, lihat  liat, hati  ati
Bentuk ketidakbakuan selanjutnya adalah pemendekan kata atau kontraksi dari dua kata yang berbeda. Contoh: terima kasih  makasih, bagaimana  gimana, kayak lembu  kalem, kurang pergaulan  kuper, dsb.
Ada juga bentuk ketidakbakuan lain yang sering digunakan yakni penggantian huruf ‘a’ dengan ‘e’ sebagai contoh: benar  bener, cepat  cepet, pintar  pinter
balas  bales.
Selanjutnya penggantian diftong ‘au’ dengan ‘o’ dan ‘ai’ dengan ‘e’
seperti: kalau  kalo, sampai  sampe, pakai  pake
Terakhir, terdapat juga penggunaan kata serapan yang asal-asalan dengan mengindonesiakan bahasa asing (Inggris). Contoh: sorry  sori, comment  komen
top  ngetop, swear  suer, gang  geng.

LIBATKAN PAKAR SASTRA UNTUK MENYUSUN KURIKULUM

14 Jul

Tujuan dari pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensi komunikatif (communicative competence). Selain itu, pengajaran dan pembelajaran bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik akan keterkaitan bahasa dan budaya, yang dalam hal ini erat kaitannya dengan kemampuan atau kompetensi kesusastraan (literary competence).
Pada kenyataannya, proses pengajaran dan pembelajaran bahasa kita secara umum, baik Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (Arab, Inggris, dan yang lain), belum bisa meletakkan kedua kompetensi bahasa (communicative dan litetary) tersebut secara proporsional. Proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan masih teralienasi atau terasingkan dari sentuhan pengenalan budaya, atau lebih khususnya karya sastra. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa mengabaikan atau bahkan memutuskan interaksi dan hubungannya dengan materi yang bernuansa sastra. Padahal sesungguhnya berbagai bentuk kesusastraan pada hakekatnya adalah bagian dari aspek bahasa yang sudah semestinya dipelajari bersamaan dengan aspek-aspek kebahasaan dan jenis keterapilan berbahasa yang lain.
Bukti nyata dari permasalahan di atas bisa kita lihat pada penerapan kurikulum pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum pelajaran bahasa yang ada, lebih menekankan pada tuntutan agar siswa menguasai unsur-unsur bahasa dengan mengabaikan aspek budayanya, termasuk sastra. Maka tidaklah aneh jika kompetensi dasar (KD) ataupun juga standar kompetensi (SK) yang harus dikuasai siswa lebih mengedepankan fungsi bahasa sebagai alat berkomunikasi baik secara lisan ataupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertiannya sebagai kemampuan berwacana, yakni memahami dan menghasilkan teks lisan atau tertulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Selain itu, kurikulum juga lebih menekankan pada tuntutan siswa untuk menguasai unsur-unsur bahasa seperti: kosakata, struktur dan pola kalimat, pelafalan, intonasi dan sebagainya (Siswantoro, 2002: vii).
Akibat dari model kurikulum seperti yang dirumuskan di atas adalah tumbuh suburnya aspek kognitif atau penalaran yang berpeluang besar untuk terus merebak dan mekar. Sedangkan ranah afektif yang menyangkut rasa, karsa, intuisi atau juga sensitifitas kebahasaan yang lain tidak memiliki peluang untuk berkembang.
Melihat kenyataan seperti yang telah disebutkan itu di atas, sesungguhnya permasalahannya terletak pada penyusun kurikulum yang selama ini didominasi oleh para pakar linguistik (linguist). dan barangkali tidak melibatkan pakar sastra dan budaya serta para pakar lain dari berbagai disiplin ilmu yang semestinya dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Satu hal yang juga harus diingat oleh para perumus kurikulum adalah jangan sampai mereka mengabaikan atau mungkin alpa dalam mengambil keputusaan dengan tidak mempertimbangkan secara sungguh-sungguh keberadaan sastra dalam bahasa. Selagi aspek kesusastraan yang merupakan bagian dari bahasa tidak dihadirkan secara proporsional di dunia pendidikan kita, maka boleh jadi kita tidak akan bisa mendapatkan hasil yang maksimal dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa yang kita harapkan.
Oleh: Habib Adnan Prihatin*)
Peminat dan Pemerhati Sastra Pendidikan
Pengajar di SMP Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta

Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan

6 Apr

A. Pendahuluan
Abad ke 5 Masehi sampai titik puncaknya kurang lebih pada abad ke 15 Masehi adalah periode kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani dan Romawi kuno yang kemudian dikenal dengan istilah ‘renaissance’ atau renaisans. Hornby (1995: p. 995) mengatakan ”Renaissance is the period in the 14th, 15th, and 16th centuries during which there was a renewed interest in art and literature, inspired by a fresh study of ancient greek art, ideas, etc”.
Dilihat dari definisinya, kata ’renaissance’ menyiratkan sebuah pembangunan kembali. Publik juga mengenal periode ini sebagai kebangkitan peradaban Yunani dan Romawi (yang dianggap sebagai sesuatu yang klasik). Salah satu hal yang menonjol pada masa itu adalah berkembangnya kesusastraan dan pemikiran klasik. Akan tetapi, esensi yang sebenarnya dari renaisans adalah lahirnya banyak pembaharuan maupun penciptaan. Instansi pendidikan, seperti universitas, tumbuh dengan cepatnya menyebar di sebagian besar wilayah Eropa secara serempak. Masa ini juga ditandai dengan semakin berkembangnya aspek intelektual dan pengetahuan khususnya di bidang seni, pemikiran maupun kesusastraan, yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan pemikiran pada abad pertengahan. Masa renaisans bukan suatu yang berkembang secara alami dari abad pertengahan, akan tetapi muncul dari sebuah revolusi budaya, suatu reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi yang dominan saat itu..
Pada perkembangannya, renaisans juga telah meretas jalan munculnya paham atau aliran empirisme yang berseberangan dengan tradisi abad pertengahan, di mana sangat mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah ketuhanan, manusia, akhlaq maupun etika. Sebagai contohnya adalah William Ockham dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang dominan di abad pertengahan. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya renaisans. Hal ini semakin menguatkan bahwa semangat renaisans ini sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu pemahaman gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, orang-orang barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh renaisans, seperti Nicolaus Copernicus dengan pandangan atau teori heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler dan Galileo Galilei. Juga Francis Bacon dengan teknik berpikir induktifnya, berseberangan dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Artinya, Barat tidak sepenuhnya mengadopsi filsafat Yunani, akan tetapi mereka hanya mengambil sebagian dari filsafat Yunani tersebut yang kemudian menjadi dasar filsafat Kristen pada abad pertengahan. Semangat renaisans juga tidak bersumber pada filsafat Yunaninya, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama (Shiddiq,1995).
Selain beberapa hal di atas, renaisans juga diperkuat adanya Reformasi, yakni sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dipelopori oleh Marthin Luther di Jerman tahun 1517. Gerakan ini berawal dari adanya fenomena korupsi umum dalam gereja, seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (afllatbrieven), penindasannya dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Reformasi ini secara tidak langsung telah memperkuat renaisans dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi gereja dengan memecah kekuatan gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan.
Selain hal di atas, renaisans juga diuntungkan dengan munculnya kritik-kritik terhadap Injil di Jerman yang terjadi sekitar abad ke 17, yang juga dianggap sebagai implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, gereja Katholik dan tokoh reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya renaisans, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin misalnya, seorang tokoh reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol, yang menentang trinitas. Gereja Katholik dan reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Perkembangan renaisans itu telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda yakni aliran rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Pascal, dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes, John Locke. Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Perkembangan dari kedua aliran inilah di kemudian hari memunculkan masa Pencerahan (juga sering dikenal dengan istilah Aufklarung) yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727). Sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada masa aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip empirisme John Locke, George Berkeley kemudian mengembangkan ‘immaterialism’, yakni sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, karena yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa pengetahuan tentang manusia akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia (Juhaya, 2003).
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant juga dianggap salah seorang tokoh masa pencerahan. Aliran filsafat Kant yang mashur pada masa itu disebut kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada aliran empirisme Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai empirisme. Hasilnya, dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad ke 19, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte, F. Schelling serta Hegel. Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey, salah seorang peletak dasar pragmatisme yang menjadi budaya kapitalisme saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad awal abad ke 20 berkembang lebih jauh dan menjadi induk dari beberapa aliran yang berbeda, yaitu positivisme, materialisme, dan pragmatisme. Positivisme dirintis oleh August Comte, yang dianggap sebagai bapak ilmu sosiologi barat. Positivisme sebagai perkembangan empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah data-data yang nyata/ empirik, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Berbeda dengan positivisme, aliran materialisme menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach, Karl Marx dan Fredericht Engels. Karl Marx menerima konsep dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (dialektika ide). Dia mengambil materialisme dari Feuerbach, lalu mengubah dialektika ide menjadi dialektika materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai historis materialisme, yang menjadi dasar ideologi sosialis–komunism (Marxisme).
Aliran berikutnya yang dianggap sebagai buah dari empirisme adalah pragmatisme, walaupun ada pula pengaruh idealisme Jerman (Hegel), seperti yang kita temukan pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Menurut Tafsir (1993: p.171), pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa pragmatisme yang diajarkannya merupakan nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon, yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke. Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat eksistensialisme maupun neorealisme dan neopositivisme.
Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi kapitalisme, yang telah disebarkan oleh barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia, yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide). Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi lain sebagai alternatif dari kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pembahasan secara mendetail tentang definisi atau hakikat pragmatisme dan bagaimana kaitannya dengan pendidikan akan diuraikan lebih rinci pada bab selanjutnya.

B. Pembahasan
1. Definisi Pragmatisme
Menurut Juhaya (1993: p. 171), pragmatisme adalah suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat dari ide-ide dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Pragmatisme menekankan kepada metode pendirian, pemakaian metode ilmiah modern sebagai dasar suatu filsafat. Aliran ini juga sangat dekat dengan sains, khususnya biologi dan ilmu kemasyarakatan dan pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problem-problem manusia termasuk juga etika dan agama. Lebih lanjut, ia juga menyinggung beberapa pendapat tokoh tentang definisi dari pragmatisme.
a. Charles S. Peirte
Charles adalah sebagai pendiri pragmatisme pada tahun 1878. ia mengatakan bahwa problem-problem termasuk persoalan-persoalan metafisika dapat dipecahkan jika kita memberi perhatian kepada akibat-akibat dari mengikuti bermacam-macam pikiran. Charles merupakan seorang ahli logika. Perhatiannya terhadap logika mencakup teori alamat ia memandang logika sebagai alat komunikasi. Sumbangan Charles yang penting terhadap filsafat adalah teori tentang arti, ia membentuk satu dari teori-teori tentang arti dengan mengusulkan suatu teknik untuk menyebarkan fikirannya.
b. William James
William James, sebagai tokoh filsafat, sangat memperhatikan masalah fakta-fakta sebagai aliran empirisme. Pemikiran James yang paling mashur diantaranya adalah empirisme radikal dan teori kebenaran.
1). Empirisme Radikal
James mendefinisikan istilah empirisme radikal; yaitu harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang dialami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung.
2). Teori Kebenaran
Teori kebenaran dari James merupakan nilai dari suatu ide, dan menekankan ukuran akibat-akibat yang memuaskan kebutuhan dan perbedaan dalam kehidupan yang akan ditentukan. Karena suatu teori itu adalah buatan manusia untuk menyesuaikan diri dengan maksud-maksud manusia itu sendiri. Dan satu-satunya ukuran kebenaran suatu teori adalah jika teori tersebut membawa kita kepada hasil-hasil yang berfaedah.
c. John Dewey
John Dewey dilahirkan di Burlington Vermont tahun 1859. Mula-mula ia adalah seorang pemuda yang pemalu. Tetapi akhirnya menjadi seorang yang pengaruhnya sangat besar dalam bidang filsafat. Tujuan filsafat bagi Dewey adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik untuk didunia dan sekarang. Dewey mengatakan manusia telah memakai beberapa metode untuk menghindari bahaya dan mencapai keamanan.
1). Pengalaman dan dunia yang berubah
Pengalaman adalah satu dari kata-kata kunci dalam filsafat Dewey, filsafat Dewey adalah mengenal dan untuk pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan sekitar.
2). Metode kecerdasan
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori tentang ide-ide dan menggunakan intelegensi (kecerdasan) sebagai metode. Ia mementingkan persoalan antara suatu organisme dengan lingkungannya semua pemikiran dan konsep, doktrin logika dan filsafat merupakan alat pertahanan bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
3). Kemerdekaan kemauan dan kebudayaan
Menurut Dewey manusia dan alam selalu berhubungan. Alam dapat dipikirkan dan dipahami, alam dimanfaatkan tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol. Dewey juga membela kemerdekaan moral, kemerdekaan memilih, dan ia juga pembela hak-hak sipil dan politik, bagi setiap orang di segala kehidupan.

2. Konsep-Konsep dalam Filsafat Pragmatisme
a. Konsep Realitas
Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam pragmatisme manusia dipandang sebagai makhluk fisik sebagai hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis karena manusa dalam keadaan terus berkembang. Manusia secara mendasar selalu berubah-ubah. Seorang anak akan terus tumbuh dan akan mempelajari hidup dalam komunitasnya, menyesuaikan terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
b. Konsep Pengetahuan
Pragmatisme berkeyakinan bahwa akal manusia itu selalu aktif ingin meneliti, kritis terhadap pandangan yang belum dibuktikan kebenarannya. Aliran ini menyatakan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna.
Untuk menyusun teori-teori, menurut Dewey, konsep secara eksperimental dalam memecahkan masalah harus melalui 5 tahapan.
Tahap 1 Timulnya situasi ketegangan (inderteminate situation)
Tahap 2 Upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor penyebab timbulnya masalah (Diagnosis)
Tahap 3 Upaya menemukan gagasan yang dapat mengatasi masalah dengan mengumpulkan informasi (Hypothesis)
Tahap 4 Pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teori (Hypothesis testing)
Tahap 5 Mempertimbangkan hasil setelah hipotesis terbaik dilaksanakan (Evaluation)

c. Konsep Nilai
Dalam pandangan pragmatisme, nilai adalah relatif. Kaidah moral dan etik selalu berubah. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak dan secara ilmiah memiliki nilai yang memungkinkan untuk memecahkan masalah. Nilai lahir dari keinginan, dorongan dan perasaan serta kebiasaan manusia. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan yang dapat dimengerti sebagai wujud perilaku manusia. Suatu perilaku, pengetahuan atau ide dikatakan benar bila mengandung kebaikan dan bermanfaat bagi manusia. Barnadib (2002) mengatakan bahwa pragmatisme adalah ajaran yang dipandang sebagai filsafat Amerika asli, di dalamnya terdapat konsep-konsep filsafat dan konsep-konsep pendidikan, yang secara terperinci.
KONSEP-KONSEP FILSAFAT KONSEP-KONSEP PENDIDIKAN
1. Metafisika (hakekat kenyataan)
 Anti metafisika. Suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan juga tidak perlu.
 Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik.
 Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah (becoming). Hakikat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri
 Hidup adalah sebagai proses pembaharuan diri sendiri yang terus berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan
1. Tujuan-tujuan pendidikan
 Pendidikan adalah hidup, pertumbuh-an sepanjang hidup, proses rekon-struksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial.
 Tujuan pendidikan adalah mempero-leh pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perseorangan dan bermasyarakat.
 Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu tidak ada tujuan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.
2. Epistimologi (hakekat pengetahuan)
 Pengetahuan adalah relatif dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman.
2. Isi Pendidikan atau Kurikulum
 Kurikulum berisi pengalaman-penga-laman yang telah teruji serta minat-minat kebutuhan-kebutuhan anak. Hal yang terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah membuat kuriku-lum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak.
 Pendidikan liberal yang menghu-bungkan pemisahan antara pendidik-an umum dengan pendidikan praktis/ vokasional
3. Karakteristik pengalaman:
a. Pengalaman pertama merupakan suatu peristiwa pasif
b. Pengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan atau kontinuitas-kontinuitas yang menye-babkan pengalaman tersebut meningkat.
 Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna bagi kehidupan (instrumentalisme). Pengetahuan adalah alat atau instrumen untuk berbuat.
 Berpikir adalah sebuah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk menemukan hubungan-hubungan khusus antara sesuatu yang kita lakukan dengan akibat-akibat yang dihasilkan, sehingga keduanya menjadi terus berhubungan. Berpikir sama dengan sebuah daya upaya dari unsur yang cerdas dalam pengalaman, berpikir merupakan sebuah proses penemuan, pencarian, penyelidikan.
3. Metode Pendidikan
Berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri langkah-langkah sebagai berikut :
 Penyadaran suatu masalah
 Observasi kondisi-kondisi yang hadir
 Perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan.
 Pengetesan melalui eksperimen.

4. Aksiologi (hakikat nilai)
 Ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai yang absolut. 4. Peran peserta didik dan pendidik
 Peserta didik adalah organisme yang rumit yang mampu tumbuh.
 Pendidik mengawasi dan membim-bing pengalaman belajar, tanpa ter-lampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan peserta didik.

d. Konsep Kebenaran
Menurut Kattsoff (1992: p.129), pragmatisme adalah suatu teori dalam menentukan kriteria kebenaran dalam memecahkan masalah praktis dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pragmatisme berpegang teguh pada praktek. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus menerus yang didalamnya yang terpenting ialah konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi itu erat kaitannya dengan makna dan kebenaran. Jika suatu konsep tidak mempunyai konsekuensi praktis berarti tidak ada makna yang dikandungnya. Contoh: konsep tentang bobot. Bobot ialah jika sesuatu tidak didukung maka ia akan jatuh. Dengan demikian bobot jelas memiliki makna.
Menurut paham pragmatisme, kenyataan adalah suatu proses yang berlangsung dalam waktu. Di dalamnya pihak-pihak yang mengetahui memainkan peranan yang kreatif, pihak-pihak yang mengetahui ini yang membuat hari depan mereka menjadi kebenaran. Pilihan merupakan kemungkinan yang nyata dan bergantung pada tindakan orang yang memperoleh pengetahuan tatkala ia menghadapi masalah dan berusaha menyelesaikannya. Penganut pragmatisme berpegang pada adanya hal-hal yang nyata yang tidak tergantung pada pengetahuan kita. Pragmatisme berhubungan dengan masalah-masalah mengenai organisme di dalam perjuangan untuk kelangsungan hidup dan menjadikan penyelesaian masalah sebagai pendorong bagi tingkah laku. Jadi pragmatisme memberi dorongan untuk bertindak. Pragmatisme sangat menarik bagi kelompok-kelompok yang ingin mengubah dunia (contoh: perang teluk, perubahan-perubahan di Blok Timur).
Teori pragmatisme mengenai nilai (aksiologs) didasarkan pada teori nilai berdasarkan kepentingan. Teori ini berkaitan dengan pandangan pragmatisme yang mendasarkan diri pada akibat-akibat (konsekuensi). Kepentingan dari sesuatu konsekuensi atau buah dari perbuatan memilih hendaknya cukup besar dan bersikap tetap. Sesungguhnya kualitas yang terdapat di sekitar obyek itulah yang menyebabkan orang menanggapinya sebagai sesuatu yang bernilai.
Menurut John Dewey, nilai adalah masalah aksi/ perbuatan memberi nilai, misal; adanya badan dunia seperti PBB dianggap bernilai setelah ditemukan pengalaman-pengalaman berharga menyusul dibentuknya badan itu (contoh, dapat mencegah timbulnya PD III, dapat memecahkan konflik-konflik, dapat meredakan ketegangan dunia. Maka semua penilaian hakekatnya terletak pada hubungan antara sarana dan tujuan.
Pemberian nilai menyangkut perasaan, keinginan, akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan. Sejumlah pernyataan atau gagasan dikatakan benar apabila hal itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Sarana digambarkan sebagai hasil generalisasi ilmiah terhadap bahan-bahan yang tersedia atau mengenai sejumlah fakta yang tertentu, untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Pemberian nilai hanya terjadi bika orang menghadapi masalah yang di dalamnya terdapat ketegangan atau tidak adanya ketertiban. Penilaian yang dilakukan bersifat dinamis dan relatif karena kondisi atau situasi dapat berubah atau berkembang, bahkan menurut Dewey setiap kondisi menciptakan nilai-nilai. Jadi tidak ada hasil penilaian yang bersifat abadi. Misal 2 orang dokter bersilang pendapat mengenai bagaimana dan dengan cara apa menyelamatkan pasien yang kritis. Tujuannya sama yaitu menyelamatkan pasien, tapi sarananya berbeda.
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Bila suatu teori secara keilmuan mampu menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatisme teori itu benar. Namun sekiranya dalam waktu yang berlainan muncul teori lain yang lebih fungsional, maka kebenaran akan didasarkan pada teori baru tersebut.
Seringkali pragmatisme diringkas di dalam formula bahwa kebenaran adalah apa yang membawa hasil. Suatu pertimbangan itu benar bila dengan menggunakannya saya mencapai hasil yang berguna. Sedangkan pertimbangan itu salah kalau dengan pertimbangan itu menghasilkan hal yang merugikan. Hal ini didukung oleh William James, yang mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan terletak dalam harga tunainya (cash value). Kebenaran tidak lagi diukur oleh keterbukaan budi terhadap kenyataan yang mengatasi yang individual tetapi dipandang melalui kacamata utilitarianisme kasar.
John Dewey mendekati pendapat filosofis tersebut melalui arah sosio historis. Kriterium bagi kebenaran sebuah ide bukanlah suatu esensi real yang ditangkap oleh konsep kita. Kriteriumnya adalah nilai dari akibat-akibat yang telah atau akan dihasilkan oleh ide itu di dalam pengalaman, pengetahuan dan tindakan bukanlah diarahkan pada bidang-bidang kenyataan yang berbeda. Keduanya diarahkan hanya pada satu-satunya bidang yaitu kenyataan sebagaimana benar-benar dialami. Pragmatisme mungkin lebih baik dimengerti sebagai teori mengenai penemuan kebenaran daripada teori kebenaran.
Dalam bukunya ’The Meaning of the Truth’ (1909) William James memandang kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, tapi tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar akan dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Dewey juga menerapkan pragmatisme dalam pendidikan Amerika dengan mengembangkan teori problem solving yang mempunyai 5 langkah.
1. Merasakan adanya masalah
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah
4. Memilih dan menganalisis hipotesis
5. Menguji, mencoba dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menerangkan dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
3. Kritik Terhadap Pragmatisme
Pragmatisme muncul dilandasi dari pemikiran dasar yang memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme). Pragmatisme sebagai perkembangan dari empirisme, maka dalam konteks ideologi pragmatisme menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pemisahan agama dari kehidupan merupakan penyelesaian ke arah jalan tengah/ moderat diantara dua pemikiran tokoh-tokoh gereja pada abad pertengahan yang mengharuskan segala urusan untuk tunduk pada ketentuan agama. Sebaliknya yang kedua yaitu pemikiran sebagian pemikir yang mengingkari keberadaan Tuhan. Dalam dalil muncul kritikan terhadap pragmatisme sebagai aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide tersebut dipandang keliru dari tiga sisi.
Pertama, pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kedua hal tersebut sangat berlainan. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tapi kebenaran ide yang diterapkan. Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya adalah sebuah identifikasi intstinktif. Ketiga, pragmatisme menimbulkan kenisbian kebenaran, karena menurut ajaran ini kebenaran baru dapat dibuktikan setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini mustahil dan tidak akan pernah terjadi.
Selain ketiga hal di atas, kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran.
a. Landasan Ideologi
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dasar pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi kapitalisme. Dasar ini sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Dasar pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang abad pertengahan, yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Tuhan (Al Khaliq) yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa. Jadi, berdasarkan fakta bahwa dasar Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan dasar ini. Tak ada bedanya apakah dasar ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi. Kendatipun demikian, yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah dasar Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kekeliruannya. Dan kekeliruan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa dasar Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa dasar tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan dasar kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang keliru, termasuk dalam hal ini adalah pragmatisme, pada hakekatnya adalah keliru juga.
b. Metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan. Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi. Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat nateri/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Aqliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Aqliyah.
Metode Aqliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam prose pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak. Metode Aqliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Aqliyah. Argumen untuk ini menurut Taqiyuddin An Nabhani ada dua poin.
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Aqliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Aqliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
b. Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Aqliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Aqliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Aqliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Aqliyah, bukan Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c. Terhadap Pragmatisme Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri .
d. Kontradiksi dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme, sebagai standar ide dan perbuatan, sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis. Allah SWT berfirman: “Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” (Al Maaidah : 48).
Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas manusia. Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam. Allah SWT berfirman: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…” (Al A’raaf :3)
Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan Allah. Allah SWT juga telah berfirman: “Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah Saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Amerika. Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah saw:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)
Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara’, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara’, bukan sembarang manfaat.
Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara’, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan ditakar dengan standar halal haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai kehendaknya.
4. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Para filsuf pragmatisme mengajarkan bahwa pendidikan harus mengajarkan pada seseorang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Lembaga sekolah harus mempunyai tujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang lebih baik.
1. Kesehatan yang baik
2. Ketrampilan dan kejujuran dalam bekerja
3. Minat dan hobi untuk kehidupan yang menyenangkan
4. Persiapan menjadi orang tua
5. Kemampuan untuk bertransaksi
Tujuan khusus dalam pendidikan yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/ memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Konsep kurikulum menurut filsuf pragmatisme yaitu tradisi demokrasi berupa tradisi memperbaiki diri sendiri. Pendidikan harus berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan yang akan datang. Kurikulum berisi pengalaman-pengalama yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, dan kurikulum tersebut akan selalu berubah (Arbi, Sutan Zanti: 1988).
Ajaran pragmatisme mengutamakan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri dan discovery method). Maka dalam metode pendidikan ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasar pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa.
Pragmatisme dalam pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya mentransfer pengetahuan pada siswanya. Setiap hal yang dipelajari oleh siswa harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Maka dalam hal ini peran guru adalah:
1. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi, contohnya: catatan-catatan perjalanan, film-film, tamu ahli, dll.
2. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
3. Membimbing, merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalah.
4. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi
5. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mempelajarinya dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Dalam pandangan pragmatisme pendidikan siswa dipandang sebagai pribadi yang mempunyai potensi untuk berkembang dan tubuh luar biasa, sedangkan guru berperan membimbing pengalaman belajar siswa.
a. Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. ’All is in the making’, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya melalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan. Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.

b. Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut ‘learning by doing’. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interest perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial (Mudyahardjo, Redja: 2004).
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama. Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

C. Kesimpulan
Pragmatisme adalah ajaran yang memberi suatu sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut pragmatisme pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan juga bukan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya. Pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan akan membosankan seperti dalam pendidikan sekolah yang tradisional. Siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat tidak hanya menerima pengetahuan dari guru saja, melainkan guru menciptakan suasana agar siswa selalu haus akan pengetahuan.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan ‘trial and error’. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput. Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

D. Daftar Pustaka
Arbi, Sutan Zanti. 1988. Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP Yogyakarta.
Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford Publisher.
Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mudyahardjo, Redja. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media
Shiddiq, Muhammad. Dekonstruksi Pragmatisme. Bogor: –
Tafsir, Ahmad. 1994. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya
Uyoh, Sadulloh. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

LIBATKAN PAKAR SASTRA UNTUK MENYUSUN KURIKULUM

6 Mar