Archive | July, 2010

Gaya Bahasa Remaja

14 Jul

Bahasa, sebagai salah satu produk dari budaya, mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa menyesuaikan dengan kondisi zamannya. Salah satu perkembangan yang terjadi dan bisa kita amati adalah model atau gaya berbahasa para remaja. Penggunaan Bahasa Indonesia di kalangan remaja (yang lebih dikenal dengan istilah ABG alias Anak Baru Gede) saat ini sangat berbeda dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka, para remaja, cenderung mengabaikan aspek-aspek struktural yang baku dan rumit serta lebih mengedepankan subtansi bahasa yang lebih komunikatif. Realitasnya bahasa ABG sekarang cenderung memilih ragam yang lebih santai dan tidak formal (tidak baku).
Ketidakbakuan tersebut setidaknya bisa kita lihat dari 2 hal yakni pertama: pemilihan kosa kata ketika berbicara. Ketidakbakuan kosakata bisa kita lihat dari diksi (pilihan kata) yang tidak baku seperti pada kalimat: “Mau bilang apa?”. Kata ‘bilang’ digunakan untuk mengganti kata ‘berkata’. Contoh lain seperti pada kalimat: “Doski tidak datang”. Kata ‘doski’ adalah kata ganti tidak baku untuk orang ke tiga ‘dia’.
Ketidakbakuan yang ke dua terdapat pada struktur kalimat yang bisa dilihat dari penyederhanaan afiksasi (kata imbuhan). Untuk membentuk kata kerja transitif (memerlukan obyek) para remaja cenderung menggunakan proses nasalisasi. Mereka menghindari pemakaian awalan ‘men – kan’ atau ‘men – i’ yang rumit. Kesulitan ini diatasi dengan proses ‘n – in’: tiru  niruin, ambil  ngambilin, cari  nyariin, tanya  nanyain, les  ngelesin, selidik  nyelidikin.
Begitu pula dengan bentuk pasif : ‘di + kata dasar + in’. Bentuk pasif ini dibentuk dengan menambahkan awalan ‘di- dan akhiran ‘in pada kata dasar: dua  diduain, tinggal  ditinggalin, tunggu  ditungguin, kumpul  dikumpulin, batal  dibatalin. Sedangkan bentuk pasif ‘ter’ dalam bahasa Indonesia baku diubah menjadi ‘ke’. Sebagai contoh: tangkap  ketangkap, peleset  kepeleset, timpa  ketimpa, gaet  kegaet
Selain afiksasi terdapat juga penghilangan huruf (fonem) awal contoh: habis  abis, memang  emang, sudah  udah, saja  aja, sama  ama. Ataupun juga penghilangan huruf ‘h’ pada awal suku kata bentuk baku. Contoh: tahu  tau, habis  abis, lihat  liat, hati  ati
Bentuk ketidakbakuan selanjutnya adalah pemendekan kata atau kontraksi dari dua kata yang berbeda. Contoh: terima kasih  makasih, bagaimana  gimana, kayak lembu  kalem, kurang pergaulan  kuper, dsb.
Ada juga bentuk ketidakbakuan lain yang sering digunakan yakni penggantian huruf ‘a’ dengan ‘e’ sebagai contoh: benar  bener, cepat  cepet, pintar  pinter
balas  bales.
Selanjutnya penggantian diftong ‘au’ dengan ‘o’ dan ‘ai’ dengan ‘e’
seperti: kalau  kalo, sampai  sampe, pakai  pake
Terakhir, terdapat juga penggunaan kata serapan yang asal-asalan dengan mengindonesiakan bahasa asing (Inggris). Contoh: sorry  sori, comment  komen
top  ngetop, swear  suer, gang  geng.

LIBATKAN PAKAR SASTRA UNTUK MENYUSUN KURIKULUM

14 Jul

Tujuan dari pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan atau kompetensi komunikatif (communicative competence). Selain itu, pengajaran dan pembelajaran bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik akan keterkaitan bahasa dan budaya, yang dalam hal ini erat kaitannya dengan kemampuan atau kompetensi kesusastraan (literary competence).
Pada kenyataannya, proses pengajaran dan pembelajaran bahasa kita secara umum, baik Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (Arab, Inggris, dan yang lain), belum bisa meletakkan kedua kompetensi bahasa (communicative dan litetary) tersebut secara proporsional. Proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan masih teralienasi atau terasingkan dari sentuhan pengenalan budaya, atau lebih khususnya karya sastra. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa mengabaikan atau bahkan memutuskan interaksi dan hubungannya dengan materi yang bernuansa sastra. Padahal sesungguhnya berbagai bentuk kesusastraan pada hakekatnya adalah bagian dari aspek bahasa yang sudah semestinya dipelajari bersamaan dengan aspek-aspek kebahasaan dan jenis keterapilan berbahasa yang lain.
Bukti nyata dari permasalahan di atas bisa kita lihat pada penerapan kurikulum pengajaran dan pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan saat ini. Kurikulum pelajaran bahasa yang ada, lebih menekankan pada tuntutan agar siswa menguasai unsur-unsur bahasa dengan mengabaikan aspek budayanya, termasuk sastra. Maka tidaklah aneh jika kompetensi dasar (KD) ataupun juga standar kompetensi (SK) yang harus dikuasai siswa lebih mengedepankan fungsi bahasa sebagai alat berkomunikasi baik secara lisan ataupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertiannya sebagai kemampuan berwacana, yakni memahami dan menghasilkan teks lisan atau tertulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Selain itu, kurikulum juga lebih menekankan pada tuntutan siswa untuk menguasai unsur-unsur bahasa seperti: kosakata, struktur dan pola kalimat, pelafalan, intonasi dan sebagainya (Siswantoro, 2002: vii).
Akibat dari model kurikulum seperti yang dirumuskan di atas adalah tumbuh suburnya aspek kognitif atau penalaran yang berpeluang besar untuk terus merebak dan mekar. Sedangkan ranah afektif yang menyangkut rasa, karsa, intuisi atau juga sensitifitas kebahasaan yang lain tidak memiliki peluang untuk berkembang.
Melihat kenyataan seperti yang telah disebutkan itu di atas, sesungguhnya permasalahannya terletak pada penyusun kurikulum yang selama ini didominasi oleh para pakar linguistik (linguist). dan barangkali tidak melibatkan pakar sastra dan budaya serta para pakar lain dari berbagai disiplin ilmu yang semestinya dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Satu hal yang juga harus diingat oleh para perumus kurikulum adalah jangan sampai mereka mengabaikan atau mungkin alpa dalam mengambil keputusaan dengan tidak mempertimbangkan secara sungguh-sungguh keberadaan sastra dalam bahasa. Selagi aspek kesusastraan yang merupakan bagian dari bahasa tidak dihadirkan secara proporsional di dunia pendidikan kita, maka boleh jadi kita tidak akan bisa mendapatkan hasil yang maksimal dari proses pengajaran dan pembelajaran bahasa yang kita harapkan.
Oleh: Habib Adnan Prihatin*)
Peminat dan Pemerhati Sastra Pendidikan
Pengajar di SMP Islam Terpadu Nur Hidayah Surakarta